Sistem Penjaminan Mutu Internal : Tantangan dan peluang bagi
PTS
Oleh : M. Guntara (Ka Pusat Jaminan Mutu STMIK AKAKOM/asesor D3 BAN-PT )
Semenjak di keluarkannya UU no 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mewajibkan
pemberkalukan adanya sistem panjaminan mutu internal (SPMI) , maka perguruan
tinggi (PT) di Indonesia baik
perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS) seolah
berlomba untuk mengapresiasi-nya.
Beraneka ragam respon PT, dari yang antusias sampai yang skeptis, bahkan ada yang terkesan ‘mati kutu’. Yang antusias merepson (biasanya PTN/PTS yang telah mapan) berargumen memang itu yang seharusnya dilakukan agar PT dapat berkompetesi secara naisonal maupun global.
Yang sekptis merasa bahwa penjminan mutu merasa sudah dilaksanakan dan konon SPMI sekedar masalah administratif.
Sementara yang ‘mati kutu’, masih kebingungan dari mana harus memulai. Kadang hal ini disebahkan karena ‘jarak pandang’ kita yang terlalu dekat, ibarat melihat gajah dipelupuk mata sehingga sulit mengidentifikasi organ-organnya. Hal ini disebabkan secara teoritis konsep SPMI sudah disosialisasikan oleh Dikti ataupun Kopertis baik melalui selebaran, buku, ataupun seminar, secara umum masih sulit dibayangkan bagimana bentuk dan implementasinya.
Untuk itu penulis mencoba menuangkan pengalaman pribadi maupun pengamatan langsung di beberapa PT di Indonesia khususnya PTS untuk kategori menengah kebawah, sehingga pengamatan lebih bersifat kualitatif deskriptif dan tentunya tidak lepas dari unsur subyektivitas walau penulis mencoba untuk meminimalisir.
Khusus untuk yang masih ‘mati kutu’ menghadapi SPMI, semoga solusi yang penulis tawarkan lebih realistis untuk segera diimplementasikan.
Masyarakat PT khususnya PTS menengah ke bawah, secara umum agaknya masih gamang melihat ujud SPMI sehingga seperti yang sudah disinyalir ada yang ‘mati kutu’ seperti diatas.
Secara substantif penulis menganalogikan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai sebuah sistem yang memiliki elemen minimal SMART yakni adanya Siklus, Manajemen , Aturan-Pedoman, Rekaman, Terkendali. Sehingga SPMI diharapkan sesuai karakter smart (Ind: cerdas) tersebut : mampu mengatisipasi keadaan, mampu mengembangkan/meningkatkan diri, mampu melakukan kreasi dan inovasi.
Siklus. SPMI harus memiiki siklus yang jelas, biasanya dalam periode 1 tahunan, terdapat kegiatan : Penetapan standar (termasuk standar baru) , Monitoring, Evaluasi, Tindakan koreksi, dan kembali ke siklus awal. Setiap pelaksanaan siklus harus jelas SOP, mekanisme kerja, waktu, dan penanggung jawabnya
Manajemen. Agar didalam pelaksnaaan SPMI dapat berjalan baik, manajemen
teramat penting untuk revitalisasi. Seharusnya SPMI adalah melekat dengan jabatan masing-masing (ex-officio), tetapi sebagai tahap
awal agaknya amat susah karena pekerjaan
ruitinitas para eksekutif yang sudah menumpuk. Untuk itu dapat dibentuk Tim Penjaminan Mutu tingkat institusi (nama disesuaikan dengan kebutuhan) . Tim ini bersifat management representif yang men-support pimpinan sehingga tidak memiliki kewenangan eksekusi. Kemudian disusun tim di level
dibawahnya sampai ke Program Studi (prodi() yang merupakan gugus tugas
operasional kegiatan siklus SPMI.
Aturan/pedoman. Aturan pedoman wajib dimiliki dalam SPMI antara lain :
Kebijakan Akademik, Standar Akademik , Sasaran mutu yang ingin
dicapai secara pertahap, dan Manual Mutu.
Rekaman. Semua pedoman, proses pelaksanaan, monitoring /evaluasi harus terrekam/tercatat untuk mempermudah pengendalian dan evaluasi berikutnya.
Terkendali. Semua proses tersebut dpaat dikendalikan sehingga sesuai dengan sistematika dan arah yang dicanangkan.
Peningkatan kualitas yang terkandung dalam SPMI ini sebetulnya secara prinsip dalam agama Islam terdapat hadits : “masuk kategori orang yang beruntung adalah hari esok lebih baik dari hari ini , dan seterusnya” atau dalam bahasa Sansekserta “ginong prati dina” yang diterjemahkan dalam dokumen SPMI Dikti sebagai tangga kaizen sebagai perwujudan dari peningkatan standar yang berkelanjutan
Secara umum sebetulnya penjaminan mutu internal PT sudah dilakukan, tetapi masih bersifat parsial, insidental, kurang terkendali, dan rekaman minimal.
Secara parsial biasanya yang dilakukan berupa bagian tertentu saja yang diamati, misalnya kehadiran dosen. Bagi yang tidak memenui standar jumlah kehadiran akan mendapatkan sangsi, tetapi belum dicermati sejauh mana peningkatan kehadiran dosen dari waktu ke waktu. Bila dikaji lebih jauh kjnerja dosen ini perlu di kaji : tingkat kesesuaian materi, kinerja penelitian, dll.
Insidental, pengamatan kinerja hanya dilakukan sangat tergantung dari ‘mood’ pimpinan baik ketua Prodi sampai Rektor/Ketua/Dorektur sehingga siklus menjadi tidak teratur.
Kurang terkendali, berarti semua proses dibiarkan begitu saja, tidak di arahkan mengapa terjadi seperti itu dan bagaimana upaya solusi dan tidak lanjutnya untuk memperbaiki konidi tersebut
Rekaman, yakni dokumentasi (baik berupa softcopy ataupun hardcopy) bagi pedoman maupun rekam jejak hasil evaluasi, biasanya belum di dikumentasikan dengan baik, baik dari sisi sistimatikanya mapun kontennya sehingga pada saat akan mengevaluasi kesulitan menganalisis.
Substansi SPMI adalah bagaimana mengalihkan loyal pada personal menjadi loyal pada sistem , personal polecy menjadi system polecy, dari externally driven (Jawa: ing ngarso sung tulodo) menjadi internally driven (Jawa: tut wuri handayani) .
Dengan demikian adanya SPMI diharapkan terjadi peningkatan kualitas yang berkelanjutan, sehingga apresiasi masyarakat lokal, nasional, internasional terhadap PT di Indonesia akan membaik.
SPMI bagi PT disamping akan menambah apresiasi masyarakat dan menaikkan daya saing, saat ini juga menjadi salah satu pertimbangan untuk berbagai hibah dan masuk pada salah satu standar akreditasi BAN-PT
Peluang untuk menerapkan dan mengembangkan masih terbuka lebar. Dari Dikti sering mengadakan seminar/pelatihan. Pada lingkup DIY –Jateng, ada beberapa PTN dan PTS yang SPMI-nya sudah eksis, bisa dijadikan rujukan atau narasumber dalam pelatihan , workshop, bahkan pendampingan.
Bila mengacu ke PTN besar dirasa ‘terlalu jauh’, bisa juga sharing dengan berbagai PT setingkat. Melalu share ini (biasanya di koordinasi oleh Kopertis) kita bisa mengadopsi metode dan pengembangan SPMI sesuai dengan kebutuhan kita. Misal, dari PT A kita ambil strukturnya , dari PT B bisa diambil Sasaran Mutunya, dan lain sebaginya.
Tentu semua itu “jer basuki mowo beo” untuk itu perlu komitmen, komitmen dan komitmen. Komitmen dari siapa ? Komitmen paling utama adalah dari pimpinan (baca : ‘top management’). Bila hal ini sudah didapat maka level manajemen dibawahnya akan mengikutinya. Hal ini karena keberhasilan SPMI harus didukung oleh elemen yang ada di PT tersebut.
Didalam mengimplementasikan SPMI tentu akan mengalami berbagai tantangan yang tidak mudah, antara lain
1. Terlalu berbangga diri, ini ditengarai dengan adanya keenggaran untuk berubah. Dengan kondisi yang ada saat ini misal animo masuk ke PT tersebut sudah besar, lulusan sudah banyak terserap di posisi terhormat. Hal ini akan menjadikan kita lengah sementara PT lain sudah melaju, sehingga tidak sadar kita sudah ‘disalip’oleh yang lain .
2. Poragmabtisme. Dengan kondidi yang ada sudah cukup nyaman bekerja dan tidak perlu ber peluh-peluh (toh gajinya tidak naik misalnya) yang hasilnya dianggap tidak dapat langsung dinikmati. Tidak bisa dipungkiri bahwa hasil ‘tanaman’ internal quality sistem ini bisa ‘dipanen’ pada jangka menenga atau bahkan panjang, tidak bisa sesaat.
3. Sifat skeptis, yang hanya bersamsi bahwa adanya SPMI hanya menambah beban baik manajemen ataupun pelaku SPMI.
Untuk menerapkan SPMI diperlukan kiat-kiat sbb :
1. Harus ada satu atau beberapa orang sebagai ‘mentor’ yang memiliki pengetahuan cukup tentang penjaminan mutu sebagai sebuah sistem. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui seminar, workshop, ataupun pelatihan/ magang. ‘Mentor’ ini lah yang menginisiasi pembuatan panduan, dokumen, ataupun borang yang diperlukan dan sekaligus ‘mengawal’ siklus SPMI agar berjalan sesuai rencana. Para perintis ini sebaiknya punya moto ‘sepi ing pamrih rame ing nggawe’ karena kalau sudah ‘rame ing pamrih’ kemungkinan ‘berjalan di tempat’ akan besar.
2. Membentuk komitmen dengan prioritas pimpinan, karena posisi ini amat strategis dan memiliki resources yang diperlukan untuk berjalannya SPMI dengan baik.
3. Bila student body cukup besar untuk prodi tersebut sebaiknya bentuk tim kecil untuk penjaminan mutu tingkat prodi (jumlah disesuaikan dengan keadaan) yang nantinya bertugas untuk ikut merencanakan dan memonitor /mengevaluasi penjaminan mutu tingkat prodi. Hal ini karena bila ditangani Ka prodi , maka akan kehabisan ‘energi’ mengingat posisi ini untuk operasional sehari-hari sudah cukup berat.
4. Sosialisasikan keperadaan SPMI melalui berbagai media ke segenap
sivitas akademika baik melalui forum rapat, sarasehan ataupun publikasi online/offline .
5. Gunakan pendampingan dari PT yang sudah mapan SPMI-nya akan lebih
mudah dicerna / realistik bila PT tersebut setara (atau setingkat diatasnya) ,
karena bila dari PT besar seringkali kurang tepat karena problematika, variasi
budaya, lingkup, dan dinamika di PT berbeda cukup signifikan
6. Bila panduan/pedoman sudah disusun segeralah diuji cobakan (tanpa
harus menunggu sempurnanya panduan tersebut) , masalah penyempurnaan dapat
dilakukan sambil jalan. Uji coba dapat dimulai dari monitoring di tengah
semester dan evaluasi di akhir
semeter untuk bagian- bagian yang mudah diakses datanya atau diprioritaskan
yang terkaitr langsung dengan pelayanan pada mahasiswa, misalnya : kehadiran
dosen, kesesuaian materi, kehadiran
mahasiswa, dan lain sebagainya
7. Setelah ada pengalaman
monitoring /evaluasi , sempurnakan panduang atau borang dan SPMI
diimpelentasikan pada periode berikutnya dengan obyek dimulai yang paling
sederhana. Sejalan perjalanan waktu sambil siklus berjalan dapat dibuat panduan
untuk bidang penjaminan mutu yang lain : penelitian, pengabdian, kemahasiswaa,
kepegawaian, keuangan, dan lain sebagainya.
“Big think, little step, act now”, mulailah dari yang paling kecil/sederhana dengan berwawasan luas dan lakukan sekarang juga, agaknya idiom yang tepat untuk memulai penjaminan mutu internal, dengan modal utama komitmen dan doa tentunya.
Bila SPMI berjalan dengan baik, Insaallah secara otomatis masyarakat akan lebih apresiatif terhadap PT kita , dan tidak lagi terlalu ‘repot’ bila menghadapi penjaminan mutu eksternal misalnya BAN-PT.
Untuk itu agar lebih terfokus, maka dalam penyusunan standar dan sasaran mutunya sebaiknya menggunakan standar eksternal dari lembaga yang akan kita rujuk, walau dalam penentuan sasaran mutu dan pelaksanannya bertahap.
Meminjam slogan Bapak SBY “bersama kita bisa”. Mari kita budayakan mutu, dan memutukan budaya kita !
Yogyakarta, 26 April 2011
Penulis
M. Guntara
Referensi :
___________, “Praktek Baik Dalam Penjaminan
Mutu”, DIKTI
___________,
“Dokumen Penjaminan Mutu Perguruan
Tinggi”, Kantor Jaminan Mutu UGM
___________,
“Kebijakan Akademik STMIK AKAKOM”, Pusat Jaminan Mutu STMIK AKAKOM
___________,
“Manual Mutu STMIK AKAKOM ”, Pusat Jaminan Mutu STMIK AKAKOM